7 Riwayat Hidup Pahlawan Revolusi
Nama : Letnan Jenderal Anumerta S.
Pangkat : Mayor Jenderal
Tanggal Lahir : 4 Agustus 1918
Riwayat Hidup : Letjen. Anumerta Siswondo Parman lahir di Wonosobo, Jawa Tengah, 4 Agustus 1918. Dia merupakan salah satu dari tujuh pahlawan revolusi dan
korban kebiadaban PKI. Pria kelahiran Wonosobo, Jawa Tengah ini
merupakan perwira intelijen, sehingga banyak tahu tentang kegiatan
rahasia PKI karena itulah dirinya termasuk salah satu di antara para
perwira yang menolak rencana PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang
terdiri dari buruh dan tani. Penolakan yang membuatnya dimusuhi dan
menjadi korban pembunuhan PKI. Pendidikan umum yang pernah diikutinya
adalah sekolah tingkat dasar, sekolah menengah, dan Sekolah Tinggi
Kedokteran. Namun sebelum menyelesaikan dokternya, tentara Jepang telah
menduduki Republik sehingga gelar dokter pun tidak sampai berhasil
diraihnya.
Setelah tidak bisa
meneruskan sekolah kedokteran, ia sempat bekerja pada Jawatan Kenpeitai.
Di sana ia dicurigai Jepang sehingga ditangkap, namun tidak lama
kemudian dibebaskan kembali. Sesudah itu, ia malah dikirim ke Jepang
untuk mengikuti pendidikan pada Kenpei Kasya Butai. Sekembalinya ke
tanah air ia kembali lagi bekerja pada Jawatan Kempeitai.
Awal
kariernya di militer dimulai dengan mengikuti Tentara Keamanan Rakyat
(TKR) yaitu Tentara RI yang dibentuk setelah proklamasi kemerdekaan.
Pada akhir bulanDesember, tahun 1945, ia diangkat menjadi Kepala Staf
Markas Besar Polisi Tentara (PT) di Yogyakarta.
Selama Agresi
Militer II Belanda, ia turut berjuang dengan melakukan perang gerilya.
Pada bulan Desember tahun 1949 ia ditugaskan sebagai Kepala Staf
Gubernur Militer Jakarta Raya. Salah satu keberhasilannya saat itu
adalah membongkar rahasia gerakan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) yang
akan melakukan operasinya di Jakarta di bawah pimpinan Westerling.
Selanjutnya, pada Maret tahun 1950, ia diangkat menjadi kepala Staf G.
Dan setahun kemudian dikirim ke Amerika Serikat untuk mengikuti
pendidikan pada Military Police School.
Sekembalinya dari Amerika
Serikat, ia ditugaskan di Kementerian Pertahanan untuk beberapa lama
kemudian diangkat menjadi Atase Militer RI di London pada tahun 1959.
Lima tahun berikutnya yakni pada tahun 1964, ia diserahi tugas sebagai
Asisten I Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad) dengan pangkat
Mayor Jenderal. Ketika menjabat Asisten I Menteri/Panglima Angkatan
Darat (Men/Pangad) ini, pengaruh PKI juga sedang marak di Indonesia.
Partai Komunis ini merasa dekat dengan Presiden Soekarno dan sebagian
rakyat pun sudah terpengaruh. Namun sebagai perwira intelijen, S. Parman
sebelumnya sudah banyak mengetahui kegiatan rahasia PKI. Maka ketika PKI mengusulkan agar kaum
buruh dan tani dipersenjatai atau yang disebut dengan Angkatan Kelima.
Ia bersama sebagian besar Perwira Angkatan Darat lainnya menolak usul
yang mengandung maksud tersembunyi itu. Dengan dasar itulah kemudian
dirinya dimusuhi oleh PKI.
Maka pada pemberontakan yang
dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965, dirinya menjadi salah
satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan pada tanggal 1 Oktober
1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta S. Parman bersama enam perwira
lainnya yakni Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta Suprapto; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan;
Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre
Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan
jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya tanpa
prikemanusiaan.
S. Parman gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan
Pancasila. Bersama enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan
Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal
kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya. Untuk menghormati jasa para pahlawan tersebut, oleh pemerintah Orde Baru
ditetapkanlah tanggal 1 Oktober setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian
Pancasila sekaligus sebagai hari libur nasional. Dan di daerah Lubang
Buaya, Jakarta Timur, di depan sumur tua tempat jenazah ditemukan,
dibangun tugu dengan latar belakang patung ketujuh Pahlawan Revolusi
tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu Kesaktian Pancasila.
Nama : Kapten Peiere Andreas Tandean
Tanggal Lahir : 21 Februari 1939
Riwayat Hidup : Kapten Czi (Anm.) Pierre Andreas Tendean (lahir di Jakarta, 21 Februari 1939 – meninggal di Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 26 tahun) adalah salah seorang korban pada peristiwa Gerakan 30 September dan merupakan pahlawan nasional Indonesia dan dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.
Pierre adalah pria blasteran Minahasa - Perancis yang fasih berbahasa Jawa. Lulusan ATEKAD tahun 1961 ini bergabung dengan corps Genie (sekarang corps Zeni) dan posisinya dua tahun junior di bawah mantan Wapres Try Sutrisno.
Setelah lulus dari pendidikan militer, ia langsung mengajukan diri untuk bergabung dengan garis depan dalam peristiwa Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Wajah indo-nya membuat Pierre dengan mudah bolak balik Indonesia - Singapura
sebagai intelijen untuk mengumpulkan data. Kurang lebih Pierre berhasil
melakukan infiltrasi sebanyak 6 kali, yang terakhir nyaris membuatnya
terbunuh
Saat ini sedang direncanakan tentang pembuatan film mengenai Pierre Tendean dengan judul Pierre.
Nama : Letnan Jenderal Anumerta Suprapto
Pangkat : Panglima Besar Sudirman
Tanggal Lahir : 20 Juni 1965
Riwayat Hidup : Letnan Jenderal TNI Anumerta R. Suprapto lahir di Purwokerto, 20 Juni 1920, ini boleh dibilang hampir seusia dengan Panglima Besar Sudirman.
Usianya hanya terpaut empat tahun lebih muda dari sang Panglima Besar.
Pendidikan formalnya setelah tamat MULO (setingkat SLTP) adalah AMS
(setingkat SMU) Bagian B di Yogyakarta yang diselesaikannya pada tahun
1941. Sekitar tahun itu pemerintah Hindia Belanda mengumumkan milisi
sehubungan dengan pecahnya Perang Dunia Kedua. Ketika itulah ia memasuki
pendidikan militer pada Koninklijke Militaire Akademie di Bandung.
Pendidikan ini tidak bisa diselesaikannya sampai tamat karena pasukan
Jepang sudah keburu mendarat di Indonesia.
Oleh
Jepang, ia ditawan dan dipenjarakan, tapi kemudian ia berhasil
melarikan diri. Selepas pelariannya dari penjara, ia mengisi waktunya
dengan mengikuti kursus Pusat Latihan Pemuda, latihan keibodan,
seinendan, dan syuisyintai. Dan setelah itu, ia bekerja di Kantor
Pendidikan Masyarakat. Di awal kemerdekaan, ia merupakan salah seorang
yang turut serta berjuang dan berhasil merebut senjata pasukan Jepang di
Cilacap. Selepas itu, ia kemudian masuk menjadi anggota Tentara
Keamanan Rakyat di Purwokerto. Itulah awal dirinya secara resmi masuk
sebagai tentara, sebab sebelumnya walaupun ia ikut dalam perjuangan
melawan tentara Jepang seperti di Cilacap, namun perjuangan itu hanyalah
sebagai perjuangan rakyat yang dilakukan oleh rakyat Indonesia pada
umumnya.
Selama di Tentara Keamanan Rakyat (TKR), ia mencatatkan
sejarah dengan ikut menjadi salah satu yang turut dalam pertempuran di
Ambarawa melawan tentara Inggris. Ketika itu, pasukannya dipimpin
langsung oleh Panglima Besar Sudirman. Ia juga salah satu yang pernah
menjadi ajudan dari Panglima Besar tersebut. Setelah Indonesia mendapat
pengakuan kedaulatan, ia sering berpindah tugas. Pertama-tama ia
ditugaskan sebagai Kepala Staf Tentara dan Teritorial (T&T) IV/
Diponegoro di Semarang. Dari Semarang ia kemudian ditarik ke Jakarta
menjadi Staf Angkatan Darat, kemudian ke Kementerian Pertahanan. Dan
setelah pemberontakan PRRI/Permesta padam, ia diangkat menjadi Deputy
Kepala Staf Angkatan Darat untuk wilayah
Sumatera yang bermarkas di Medan.
Selama di Medan tugasnya sangat berat sebab harus menjaga agar
pemberontakan seperti sebelumnya tidak terulang lagi.
Pada
pemberontakan yang dilancarkan oleh PKI tanggal 30 September 1965,
dirinya menjadi salah satu target yang akan diculik dan dibunuh. Dan
pada tanggal 1 Oktober 1965 dinihari, Letjen. TNI Anumerta R. Suprapto
bersama enam perwira lainnya yakni Jend. TNI Anumerta Achmad Yani; Letjen. TNI Anumerta S. Parman; Letjen. TNI Anumerta M.T. Haryono; Mayjen. TNI Anumerta D.I. Panjaitan;
Mayjen. TNI Anumerta Sutoyo S; dan Kapten CZI TNI Anumerta Pierre
Tendean berhasil diculik kemudian dibunuh secara membabi buta dan
jenazahnya dimasukkan ke sumur tua di daerah Lubang Buaya tanpa
prikemanusiaan.
R.
Suprapto gugur sebagai Pahlawan Revolusi untuk mempertahankan
Pancasila. Bersama enam perwira lainnya ia dimakamkan di Taman Makan
Pahlawan Kalibata. Pangkatnya yang sebelumnya masih Mayor Jenderal
kemudian dinaikkan satu tingkat menjadi Letnan Jenderal sebagai
penghargaan atas jasa-jasanya. Untuk menghormati jasa para pahlawan
tersebut, oleh pemerintah Orde Baru ditetapkanlah tanggal 1 Oktober
setiap tahunnya sebagai hari Kesaktian Pancasila sekaligus sebagai hari
libur nasional. Dan di daerah Lubang Buaya, Jakarta Timur, di depan
sumur tua tempat jenazah ditemukan, dibangun tugu dengan latar belakang
patung ketujuh Pahlawan Revolusi tersebut. Tugu tersebut dinamai Tugu
Kesaktian Pancasila.
Nama : Jenderal TNI Anumerta Yani
Pangkat :
Tanggal Lahir : 19 Juni 1922
Riwayat Hidup : Jenderal TNI Anumerta AChmad Yani
(Purworejo, 19 Juni 1922]]-Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965) adalah
seorang pahlawan nasional Indonesia. Pendidikan formal diawalinya di
HIS (setingkat Sekolah Dasar) Bogor, yang diselesaikannya pada tahun
1935. Kemudian ia melanjutkan sekolahnya ke MULO (setingkat Sekolah
Menegah Pertama) kelas B Afd. Bogor. Dari sana ia tamat pada tahun 1938,
selanjutnya ia masuk ke AMS (setingkat Sekolah Menengah Umum) bagian B
Afd. Jakarta. Sekolah ini dijalaninya hanya sampai kelas dua, sehubungan
dengan adanya milisi yang diumumkan oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Achmad
Yani kemudian mengikuti pendidikan militer pada Dinas Topografi Militer
di Malang dan secara lebih intensif di Bogor. Dari sana ia mengawali
karir militernya dengan pangkat Sersan. Kemudian setelah tahun 1942
yakni setelah pendudukan Jepang di Indonesia, ia juga mengikuti
pendidikan Heiho di Magelang dan selanjutnya masuk tentara Pembela Tanah
Air (PETA) di Bogor.
Berbagai prestasi pernah diraihnya pada
masa perang kemerdekaan. Achmad Yani berhasil menyita senjata Jepang di
Magelang. Setelah Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terbentuk, ia diangkat
menjadi Komandan TKR Purwokerto. ketika Agresi Militer Pertama Belanda
terjadi, pasukan Achmad Yani yang beroperasi di daerah Pingit berhasil
menahan serangan Belanda di daerah tersebut. Maka saat Agresi Militer
Kedua Belanda terjadi, ia dipercayakan memegang jabatan sebagai Komandan
Wehrkreise II yang meliputi daerah pertahanan Kedu. Setelah Indonesia
mendapat pengakuan kedaulatan, ia diserahi tugas untuk melawan DI/TII
(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) yang membuat kekacauan di daerah
Jawa Tengah. Ketika itu dibentuk pasukan Banteng Raiders yang diberi
latihan khusus hingga pasukan DI/TII pun berhasil dikalahkan. Seusai
penumpasan DI/TII tersebut, ia kembali ke Staf Angkatan Darat.
Pada
tahun 1955, Achmad Yani disekolahkan pada Command and General Staff
College di Fort Leaven Worth, Kansas, USA selama sembilan bulan. Pada
tahun 1956, ia juga mengikuti pendidikan
selama dua bulan pada Spesial Warfare
Course di Inggris. Tahun 1958 saat pemberontakan PRRI terjadi di
Sumatera Barat, Achmad Yani yang masih berpangkat Kolonel diangkat
menjadi Komandan Komando Operasi 17 Agustus untuk memimpin penumpasan
pemberontakan PRRI dan berhasil menumpasnya. Hingga pada tahun 1962, ia
diangkat menjadi Menteri/Panglima Angkatan Darat.
Achmad Yani
selalu berbeda paham dengan PKI (Partai Komunis Indonesia). Ia menolak
keinginan PKI untuk membentuk Angkatan Kelima yang terdiri dari buruh
dan tani yang dipersenjatai. Oleh karena itu, ia menjadi salah satu
target PKI yang diculik dan dibunuh di antara tujuh petinggi TNI
Angkatan Darat melalui Pemberontakan G30S/PKI (Gerakan Tiga Puluh
September/PKI). Achmad Yani ditembak di depan kamar tidurnya pada
tanggal 1 Oktober 1965 (dinihari). Jenazahnya kemudian ditemukan di
Lubang Buaya, Jakarta Timur dan dimakamkan secara layak di Taman Makam
Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan. Achmad Yani gugur sebagai Pahlawan
Revolusi. Pangkat sebelumnya sebagai Letnan Jenderal dinaikkan satu
tingkat (sebagai penghargaan) menjadi Jenderal.
Nama : Letnan Jenderal Anumerta M.T.Haryono
Pangkat : Letnan Jenderal
Tanggal Lahir : 20 Januari 1924
Riwayat Hidup : Dikesempatan kali ini, saya kembali ingin memberikan sebuah kisah seorang pahlawan nasional
indonesia yang ikut berjuang melawan penjajahan dalam memerdekakan
negara kesatuan republik indonesia (NKRI) Letnan Jenderal TNI Anumerta
Mas Tirtodarmo Haryono (lahir di Surabaya, Jawa Timur, 20 Januari 1924 –
meninggal di Lubang Buaya, Jakarta, 1 Oktober 1965 pada umur 41 tahun)
adalah salah satu pahlawan revolusi Indonesia yang terbunuh pada persitiwa G30S PKI. Ia dimakamkan di TMP Kalibata – Jakarta.
Letjen Anumerta M.T. Haryono kelahiran
Surabaya, 20 Januari 1924, ini sebelumnya memperoleh pendidikan di ELS
(setingkat Sekolah Dasar) kemudian diteruskan ke HBS (setingkat Sekolah
Menengah Umum). Setamat dari HBS, ia sempat masuk Ika Dai Gakko (Sekolah
Kedokteran masa pendudukan Jepang) di Jakarta, namun tidak sampai
tamat.
Ketika kemerdekaan RI diproklamirkan, ia yang sedang berada di Jakarta
segera bergabung dengan pemuda lain untuk berjuang mempertahankan
kemerdekaan. Perjuangan itu sekaligus dilanjutkannya dengan masuk
Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Awal pengangkatannya, ia memperoleh
pangkat Mayor.
Selama terjadinya perang mempertahankan kemerdekaan yakni antara tahun
1945 sampai tahun 1950, ia sering dipindahtugaskan. Pertama-tama ia
ditempatkan di Kantor Penghubung, kemudian sebagai Sekretaris Delegasi
RI dalam perundingan dengan Inggris dan Belanda. Suatu kali ia juga
pernah ditempatkan sebagai Sekretaris Dewan Pertahanan Negara dan di
lain waktu sebagai Wakil Tetap pada Kementerian Pertahanan Urusan
Gencatan Senjata. Dan ketika diselenggarakan Konferensi Meja Bundar
(KMB), ia merupakan Sekretaris Delegasi Militer Indonesia.
Nama : Mayor Jenderal Anumerta Donald Isac Panjaitan
Pangkat : Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PPPDRI)
Tanggal Lahir : 9 Juni 1925
Riwayat Hidup : Mayor Jenderal TNI Anumerta Donald Isaac Panjaitan adalah salah satu
pahlawan revolusi terkenal di Indonesia. Meskipun ia meninggal dalam
usia yang masih muda yakni 40 tahun, perjuangan beliau dalam
mempertahankan tanah air sangat patut untuk diacungi jempol.
Panjaitan adalah sosok pahlawan yang pernah mengenyam bangku SD
hingga kuliah di Associated Command and General Staff College, Amerika
Serikat. Selama masih di Indonesia, ia sempat menjadi anggota Gyugun di
Pekanbaru, Riau dan membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang
kemudian berubah menjadi TNI. Ia menduduki jabaran sebagai komandan
batalyon di TKR yang kemudian menjadi KOmandan Pendidikan Divisi
IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Setelah itu, ia menjadi
Kepala Staff Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatra.
Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia
(PDRI) pun berhasil diraihnya ketika Agresi Militer Belanda ke II
terjadi. Setelah Agresi Militer Belanda II berakhir, ia diangkat kembali
menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit
Barisan di Medan yang selanjutnya di pindahkan ke palembang menjadi
Kepala Staf T&T II/Sriwijaya.
Setelah pulang menuntut ilmu di Amerika Serikat, Panjaitan membongkar
rahasia PKI akan pengiriman senjata dari Republik Rakyat China yang
dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan . Senjata-senjata tersebut
diperkirakan akan digunakan oleh PKI untuk melancarkan aksi
pemberontakan.
Aksi Panjaitan atas pembongkaran rahasia PKI menyulut api kemarahan
dari pihak PKI. Pada tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan
30 September datang ke rumah Panjaitan. Ketika Panjaitan berusaha untuk
melarikan diri, ia tertembak oleh anggota PKI dan meninggal. Mayatnya
dibawa dan dibuang di Lubang BUaya. Pada tanggal 4 Oktober, mayat
Panjaitan diambil dan dimakamkan secara layak di TMP Kalibata, Jakarta.
Berkat keberaniannya membela negara, Panjaitan mendapatkan gelar
Pahlawan Revolusi oleh pemerintah Indonesia.
Nama : Mayjen TNI Anumerta Sutoyo Siswomiharjo
Pangkat : Kapten
Tanggal Lahir : 23 Agustus 1922
Riwayat Hidup : Sutoyo Siswomiharjo dilahirkan
di kebumen, pada tanggal 23 Agustus 1922 dan wafat di Lubang buaya
Jakarta pada tanggal 1 Oktober 1965 sebagai pahlawan revolusi.
Beliau menamatkan sekolah HIS di Semarang. Lalu melanjutkan
pendidikan ke AMS juga di Semarang pada tahun 1942. setelah itu beliau
mengikuti pendidikan di Balai Pendidikan Pegawai Tinggi di Jakarta.
Sebelum menjadi tentara, Sutoyo bertugas sebagai Pegawai Menengah/III di Kabupaten Purworejo.
Tugas
sebagai seorang Militer dimulai saat perjuangan kemerdekaan 1945.
Sutoyo menjabat Kepala Organisasi Resimen II PT (Polisi Tentara)
Purworejo dengan pangkat Kapten (1946).
Pada
bulan Juni tahun 1946, beliau pernah menjadi ajudan colonel Gatot
Soebroto. Kemudian menjadi Kepala Staf CPMD Yogyakarta (1948-1949). Pada
tahun 1950 Mayor Sutoyo menjabat sebagai Komandan Batalyon I CPM dan
tahun 1951 Danyon V CPM. Tahun 1954 beliau menjabat Kepala Staf Markas
Besar Polisi Militer.
Mulai tahun 1955 sebagai
Pamen diperbantukan SUAD I dengan pangkat Letkol hingga tahun 1956. Lalu
pada tahun yang sama, beliau diangkat menjadi Asisten ATMIL di London.
Setelah
kembali di tanah air dan selesai mengikuti pendidikan Kursus "C"
Seskoad tahun 1960. Pada tahun 1961 naik pangkat menjadi Kolonel dan
menjabat sebagai IRKEHAD. Pada tahun 1964 dinaikan pangkatnya menjadi
Brigjen.
Sama seperti Achmad Yani,
beliau juga menolak pembentukan angkatan kelima yang terdiri dari buruh
dan tani yang dilengkapi dengan senjata.
Tanggal
1 Oktober jam 04.00 dini hari, Brigjen TNI Sutoyo diculik dan dibunuh
oleh gerombolan G 30 S/PKI.. Dengan todongan bayonet, mereka menanyakan
kepada pembantu rumah untuk menyerahkan kunci pintu yang menuju kamar
tengah. Setelah pintu dibuka oleh Brigjen TNI Sutoyo, maka pratu Suyadi
dan Praka Sumardi masuk ke dalam rumah, mereka mengatakan bahwa Brigjen
TNI Sutoyo dipanggil oleh Presiden. Kedua orang itu membawa Brigjen TNI
Sutoyo ke luar rumah sampai pintu pekarangan diserahkan pada Serda
Sudibyo. Dengan diapit oleh Serda Sudibyo dan Pratu Sumardi, Brigjen TNI
Sutoyo berjalan keluar pekarangan meninggalkan tempat untuk selanjutnya
dibawa menuju Lubang Buaya, dan disana beliau gugur karena dianiaya di
luar batas-batas kemanusiaan oleh gerombolan G 30 S/PKI.
Jenazahnya dimakamkan di TMP Kalibata, Jakarta.